Konflik, Jangan Dipandang Negatif

Berbagai macam konflik kekerasan terjadi di Indonesia akibat kepentingan sejumlah golongan yang bersifat membahayakan kemanusiaan. Padahal, permasalahan yang tadinya menjadi pemicu pun tidak juga terselesaikan. Kondisi seperti ini dinilai terjadi karena masyarakat Indonesia cenderung melihat konflik dari pendekatan negatif. Seharusnya masyarakat melihat konflik merupakan hal positif sebagai bagian dari kehidupan.


Dari kiri ke kanan, Rusdiyanto (Kesbanglinmas DIY), Dr. Zuly Qodir (Dosen IP UMY), Drs. Muhammad Azhar, MA (Dosen FAI UMY)
Demikian disampaikan Dr. Zuly Qodir, Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)saat mengisi Diskusi Publik bertajuk “Mengurai Konflik Menuju Damai, Upaya Meraih Perdamaian yang Hakiki” yang diadakan Kementrian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri RI) bekerjasama dengan Lembaga Human Institute, Himpunan Mahasiswa Islam Tunas Bangsa (HMI TB) UMY, dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (BEM FISIPOL) UMY, Rabu (30/11) di Ruang Sidang Fakultas Hukum Kampus Terpadu UMY.
Menurut Zuly, kebanyakan masyarakat terlanjur melihat perbedaan kepentingan dari kacamata negatif. Masyarakat menilai perbedaan kepentingan merupakan suatu hal yang membayakan sehinnga dapat berujung destruktif bagi mereka. Sehingga cara yang ditempuh mereka adalah dengan menghilangkan kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan mereka tersebut. Akibatnya, perbedaan kepentingan selalu berujung pertikaian.
Zuly menjelaskan, seharusnya masyarakat memandang positif konflik sebagai hal yang wajar. Setiap orang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Apalagi Indonesia terkenal dengan keragaman latar belakang budaya sehingga rawan timbul konflik kepentingan. “Konflik itu lumrah, bagian dari kehidupan, sekarang tinggal bagaimana melakukan manajemen konflik. Ada upaya negosiasi, dialog sehingga terjadi kesepakatan di antara pihak-pihak terkait suatu konflik.”
Sementara Staff Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) Provinsi DIY, Rusdiyanto menilai upaya manajemen konflik ini tidak dapat berhasil jika hanya menitikberatkan pada upaya pemerintah. Pemerintah perlu bantuan masyarakat dan para tokohnya serta para stakeholder dalam upaya identifikasi masalah yang terjadi dalam sebuah konflik. “Sehingga pemerintah sebagai regulator, fasilitator dan advokator dapat menentukan kebijakan yang solutif bagi seluruh pihak”, jelasnya.
Rusdiyanto juga melihat tindakan preventif yang dapat dilakukan yaitu penciptaan upaya pembauran dan asimilias kehidupan sosial masyarakat yang berbeda suku, agama, ras dan golongan, serta kehadiran kelompok penyeimbang. Seluruh pihak secara bersama dapat berupaya menghindari polarisasi atau pengelompokan masyarkat yang mengangkat sentimen potensi perbedaan secara sempit dan radikal. “Dengan pembauran, masyarakat akan mengenal adat satu sama lain sehingga terjadi toleransi, bukan justru mengelompokkan mereka di tempat berbeda” terangnya.
Selain kedua pembicara tersebut, diskusi ini juga menghadirkan Drs. Muhammad Azhar, MA , Dosen Fakultas Agama Islam UMY yang menilai bangsa Indonesia terlanjur memiliki psikologi sebgai masyarakat tertindas sehingga melihat segala hal dari keburukannya. Sehingga perlu meningkatkan optimisme masyarakat dengan keteladanan pemerintah dan para tokoh masyarakat.
published at:

on 30 November 2011 | | A comment?

Suku Dayak di Indramayu?

Tulisan di bawah ini sebenarnya saya tulis atas permintaan seorang teman beberapa waktu lalu. Ia meminta saya untuk menjadi reporter sebuah buletin yang ia pimpin. Namun hingga kini buletin tersebut urung terbit. Mari simak tulisan tentang Suku Dayak yang ternyata berasal dari Jawa Barat ini.

...

Mendengar kata Dayak, akan terlintas di pikiran semua orang sebuah pulau di bagian utara Indonesia, Pulau Borneo atau yang kerap kita sebut Kalimantan. Suku Dayak dikenal sebagai etnis asli pulau terbesar ketiga di dunia ini. Hingga kini, adat istiadat Suku Dayak masih kental dirasakan di hampir seluruh pelosok Kalimantan. Namun, apa jadinya jika kekentalan adat tersebut dirasa hingga Kota Indramayu, Jawa Barat?
Kampung Segandu, Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Indramayu, menjadi tempat di mana Suku Dayak ini dapat ditemukan di Jawa Barat. Penampilannya yang tidak berbaju, bercelana pendek dan mengenakan topi ala petani sekilas mirip dengan penampilan kebanyakan Suku Dayak Kalimantan yang masih memegang unsur-unsur tradisional. Padahal, Suku Dayak yang berada di Indramayu ini tidak memiliki hubungan kerabat sedikitpun dengan Suku Dayak Kalimantan.

sumber: fotografer.net 
Asal usul penamaan
Lantaran berada di Kecamatan Losarang, kebanyakan warga sekitar menyebut kelompok ini “Suku Dayak Losarang”. Sementara mereka menamakan diri mereka sebagai “Suku Dayak Hindu Buddha Bumi Segandu Indramayu”. Tidak seperti pengertian suku di Indonesia pada umumnya, kata “suku” pada nama kelompok ini tidak memiliki makna etnis atau suku bangsa dalam pengertian antrpologis. Demikian pula makna kata Dayak, atau Hindu dan Budha yang bukan berarti agama Hindu dan Budha.
Penamaan kelompok ini diambil sepenuhnya dari Bahasa Jawa Indramayu. Kata “Suku” berarti kaki, maksudnya bahwa setiap manusia berjalan dan berdiri di atas kaki masing-masing sesuai kepercayaaan dan keyakinan yang dianut. Kata “Dayak” berasal dari kata “ayak” atau “ngayak” yang bermakna menyaring, memilah dan memilih mana yang benar dan yang salah.
Sementara “Hindu” artinya kandungan atau rahim. Maknanya bahwa setiap manusia dilahirkan dari kandungan seorang ibu. Kata “Budha” bersal dari kata “wuda” yang berarti telanjang. Filosofinya bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan telanjang. Kata “Bumi” yang bermakna wujud dan “Segandu” yang berarti sekujur tubuh digabung sehingga memiliki filosofi sebagai kekuatan hidup.

sumber: fotografer.net
Konsep menyatu dengan alam
Paheran Takmad Diningrat Gusti Alam atau kerap disapa Ki Takmad, adalah pemimpin sekaligus pendiri kelompok ini. Ki Takmad adalah orang asli Desa Segandu. Pemukiman kelompok ini pun hingga saat ini berada di atas tanah warisan dari mertua Ki Takmad. Ki Takmad mengajarkan konsep “ngaji rasa terhadap alam semesta” atau “menyatukan diri dengan alam” ke para pengikutnya.
Konsep di atas, disebut para pengikutnya tidak berasal dari kitab suci, kepercayaan, maupun budaua manapun. Mereka berusaha mencari pemurnian diri dengan teladan tokoh Semar dan Pandawa Lima. Dianggap sebagai orang yang mencapai pemurnian diri jika dalam kesehariannya dapat berperilaku setelah mengetahui yang benar dan salah. Konsep ini juga mendidik untuk mengendalikan diri dari “Tiga Ta”, harta, tahta, dan wanita. Dalam hal ini misalnya, perceraian dan melakukan hubungan di luar nikah sangat ditentang.


Ritual
Suku Dayak Losarang juga memiliki ritual-ritual khas mereka sendiri. Setidaknya ada empat ritual yang mereka lakukan sehari-hari, Medar (menceritakan pewayangan), kungkum (berendam), pepe (berjemur), dan melantunkan Kuding dan Pujian Alam. Setiap malam Jumat Kliwon, mereka melakukan medar ini secara massal di Pendopo Nyi Ratu Kembar dengan mengenakan celana putih dan hitam yang melambangkan perpaduan langit dan bumi.
Laku kungkum dilakukan dengan berendam di sungai dari pukul 24.00 hingga pagi hari, dilanjutkan laku pepe yaitu berjemur di bawah terik matahari hingga siang hari. Kedua ritual ini dilakukan pada dasarnya dalam upaya menyatukan diri dengan alam. Hingga selanjutnya juga berusaha melatih kesabaran. Seluruh ritual ini dilakukan atas dasar keinginan dan kemampuan tanpa paksaan sedikitpun.
Selain dikenal sebagai vegetarian karena berpendapat setiap hewan juga ingin hidup seperti manusia, kelompok ini juga dikenal dengan sikap cenderung apatis terhadap aturan formal pemerintah. Kelompok ini menolak mengisi formulir pembuatan KTP karena harus mencantumkan salah satu agama yang diakui di Indonesia dan pas photo dengan mengenakan pakaian. Terlebih dalam urusan pemilu, mereka memutuskan untuk golput.
Di luar itu, dalam kesehariannya Ki Takmad dan pengikutnya tetap melakukan pergaulan dengan warga sekitar walaupun sangat terbatas. Meskipun terkesan ekslusif, mereka dikenal ramah dan suka menolong. Ketika menerima sumbangan misalnya berupa beras, mereka hanya akan mempergunakannya secukupnya. Sisanya mereka bagikan ke yang lebih membutuhkan. Mungkin kita dapat menengok kekhasan Suku Dayak Losarang ini secara langsung jika berkunjung ke Indramayu.
 
laku kungkum dan laku pepe suku dayak indramayu

on 28 November 2011 | | A comment?

Kine Club UMY Putar Film-Film Potret Indonesia Pasca Reformasi

Muhammadiyah Multimedia Kine Club Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (MM Kine Club UMY) bekerjasama dengan Komunitas Film Dokumenter (KFD) mengadakan Screening atau pemutaran film “Tales from Jakarta” di Ruang Sidang Hukum, Gedung E, Kampus Terpadu UMY, Rabu (23/11). Pemutaran film ini diadakan di UMY sebelum Festival Film Dokumeter (FFD) X 2011 yang akan diselenggarakan KFD di Taman Budaya Yogyakarta, 1-5 Desember mendatang.
Menurut Koordinator Panitia FFD, Franciscus Apriawan, Tales From Jakarta (2008) adalah kumpulan 5 film dokumenter yang digarap 5 sutradara berbeda yang semuanya menilik kehidupan masyarakat Indonesia pasca reformasi. Dalam Tales from Jakarta, digambarkan bagaimana masyarakat Indonesia, terutama Jakarta, yang hingga kini masih dibayangi kemiskinan, pengangguran, dan berbagai masalah ketidakadilan termasuk masalah perbedaan etnis meskipun reformasi sudah 10 tahun lamanya.
Tales from Jakarta terdiri dari Bot Parabot (Jastis Arimba), Babi Apa Ayam? (Sakti Parantean), Irama Hati (Steve Pillar S.), Makan Siang di Hari Jumat (Ariani Djalal), dan Musaifr (BW. Putra Negara).
Salah satu film yang diputar “Musafir”, menceritakan dua orang pemulung, Kamal dan Ida yang setiap hari mengumpulkan sampah-sampah yang dibuang orang-orang kaya di Jakarta bermodal gerobak dengan roda yang rusak dan sebuah tongkat. Mereka digambarkan sebagai rakyat miskin yang dalam kesehariannya hanya bergelut demi perut, sehingga tidak menghiraukan fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar mereka. Bahkan di akhir cerita, diperlihatkan bagaimana mereka pun sangat sulit mengingat nama gubernur mereka sendiri, Fauzi Bowo saat berbincang di pintu masjid.
Film-film dokumenter lain juga merupakan potret kehidupan di Jakarta. Film “Babi Apa Ayam?” misalnya, menceritakan Novi, seorang bocah perempuan berusia 10 tahun keturunan Cina yang tinggal di daerah Glodok, pecinan kota Jakarta. Hari-hari Novi diisi dengan berkeliling menjual Bacang, bukan bersekolah.
Franciscus juga menjelaskan, kegiatan-kegiatan seperti ini memang dilakukan sebagai upaya pemberian ruang apresiasi dan sosialiasi terhadap bentuk film dokumenter yang semakin berkembang dengan berbagai macam gaya. Tales of Jakarta misalnya, sangat sedikit adegan-adegan yang ditampilkan dengan wawancara dan narasi. “Film Dokumenter tidak harus banyak dialog dan narasi. Adegan subjek yang natural juga dapat menyampaikan maksud,” jelasnya.
Sementara Wakil Ketua MM Kine Club UMY, Norman Perdana Lubis yag ditemui di sela-sela pemutaran sangat menyambut baik upaya sosialisasi Film-film dokumenter pendek seperti ini. Menurutnya, Film dokumenter dan berbagai bentuk film indie menjadi wadah aktulaisasi ide dan kreasi para pemuda yang unik dan menantang. “Pembuatan film-film seperti ini  membutuhkan proses yang lama dengan ide-ide yang kritis tentang sudut-sudut kehidupan. Ini yang terus digalakkan di UMY 14 tahun silam. Apalagi saat ini bermunculan komunitas-komunitas yang mengapresiasi film-film seperti ini”, tandas mahasiswa Hubungan Internasional UMY ini.
published at:

on 23 November 2011 | | A comment?

Taman kota dan Jalan di Pinggir Sungai Cegah Banjir

Banjir yang terjadi di berbagai daerah telah menjadi proses alam yang semakin kerap terjadi secara berkala. Sehingga bencana banjir pun sudah semakin mudah untuk diprediksi. Sekarang, tinggal bagaimana membangun kesadaran masyarakat untuk tanggap banjir. Di negara-negara maju, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan membangun fasilitas umum di sepanjang pinggiran sungai.
Demikian disampaikan Jazaul Ikhsan, ST., MT., Ph.D, Ketua Pusat Studi Lingkungan dan Bencana (PSLB) UMY saat diwawancarai di Kampus Terpadu UMY , Sabtu (19/11). Fasilitas umum yang dimaksud Jazaul misalnya dengan taman kota dan jalan untuk pejalan kaki.
Pembangunan jalan di pinggir sungai, menurut Jazaul dapat digunakan masyarakat melakukan berbagai aktifitas. Misalnya digunakan sebagai area jogging atau berolahraga. Demikian juga dengan adanya taman yang mendorong masyarakat untuk berkunjung. Hal ini merupakan sebuah bentuk penghargaan bagi sungai karena dengan fasilitas umum di sepanjang sungai, paling tidak menjadikan area tersebut terkontrol dan tidak terbengkalai. “Tidak hanya pemerintah, masyarakat akan sadar bahwa kita perlu merawat sungai demi meminimalisasi dampak meluapnya air sungai yang kerap terjadi di daerah tersebut.”, jelas Dosen Teknik Sipil UMY itu.
Lebih lanjut Jazaul menjelaskan, pilihan membangun fasilitas umum daripada pemukiman masyarakat di sepanjang pinggiran sungai mengurangi kerugian yang dirasakan masyarakat jika terjadi banjir di daerah tersebut. “Paling tidak saat terjadi banjir, fasilitas umumlah yang mengalami kerusakan. Bukan fasilitas pribadi bahkan korban jiwa.” terangnya.
Upaya lain yang dinilai baik oleh Jazaul adalah upaya masyarakat untuk membangun rumah dengan menghadap sungai. Dengan menghadap sungai, sungai di daerah tersebut akan lebih terpantau. “Setiap orang pasti ingin membuat suasana di depan rumahnya menjadi nyaman. Akan sangat berbeda perlakuannya apabila rumah membelakangi sungai. Masyarakat Kalicode sudah mulai melakukan itu”, terangnya.
Upaya membangun kesadaran masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan sekitar sungai menurut Jazaul memang menjadi hal utama yang dapat dilakukan. Kerja bakti mengeruk pasir atau membuang sampah pada tempatnya menjadi upaya yang harus digalakkan secara rutin di daerah-daerah rawan banjir. “Di Yogyakarta, pertemuan Kali Code, Kali Opak, dana Kali Oyo misalnya, masyarakatnya harus terus meningkatkan hal-hal semcam itu karena berpotensi terjadi banjir setiap musim hujan seperti yang sudah diprediksi BNPB” jelasnya.
Alasan lain penggalakan kerja bakti ini menurut Jazaul adalah karena masyarakat sekitar sungai yang merasa sudah nyaman dengan tempat tinggal mereka sehingga upaya relokasi masyarakat ke daerah yang lebih aman tidak memungkinkan untuk dilakukan. “Mereka sudah biasa dengan datangnya banjir. Toh tidak terjadi dalam jangka waktu lama seperti di Jakarta yang hingga berhari-hari. Kini tinggal terus diupayakan kesadaran masyarakat untuk mengantisipasi dampak besar banjir”, tandasnya.
published at:

on 19 November 2011 | | A comment?

Tingkatkan minat menulis, UMY adakan Blog Contest

Dalam upaya membudayakan minat dan kebiasaan menulis di lingkungan akademis, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengadakan UMY Blog Contest bagi seluruh civitas akademika, baik mahasiswa, dosen, maupun karyawan. Kontes blog tersebut, merupakan kontes blog keempat yang dilakukan UMY sejak 2010 lalu.
Disampaikan Wakil Rektor III UMY, Sri Atmaja P. Rosyidi, Ph.D saat memberikan sambutan pada Workshop Blogging sekaligus sosialisasi 4th UMY Blog Contest yang diselenggarakan Kamis (17/11) di Ruang Sidang Gedung AR Farhudin B lantai 5 Kampus Terpadu UMY, kontes blog merupakan salah satu sarana untuk mendorong pemikiran dan ide terutama mahasiswa, untuk dituangkan ke dalam tulisan.
Sri mengungkapkan, saat ini UMY tidak hanya mengedepankan nilai-nilai spiritual dan keislaman. UMY sebagai sebuah lembaga pendidikan juga berupaya untuk terus berupaya menyeimbangkan nilai-nilai tersebut pengembangan nilai-nilai intelektualitas. Dengan adanya blog, selain kemampuan kritis penulis menjadi terasah, saling tukar informasi menjadi nilai penting bagi pengembangan intelektualitas tersebut.
Sri juga menjelaskan, saat ini, dunia maya menjadi semakin tidak terbatas. Akses untuk menperoleh informasi apapun sudah semakin mudah. Hal tersebut menjadi indikator bahwa semestinya semakin banyak mahasiswa yang memanfaatkan ini untuk meningkatkan intelektualitas. Dunia maya dapat dimanfaatkan untuk hal-hal positif, bukan hal negatif. “Kita tidak dapat menentukan apakah teknologi sesuatu yang positif atau negatif. Yang positif atau negatif adalah penggunanya” jelas Sri.
Sementara Kepala Biro Sistem Informasi (BSI) UMY, Wahyudi, ST, MT menjelaskan indikator penilaian blog contest ini tidak hanya dilihat dari kuantitas tulisan, upaya memberikan komentar di artikel tulisan orang lain juga merupakan salah satu indikator. Blog Contest ini diharapkan tidak sekedar dijadikan sebagai wahana untuk menulis. Blog Contest ini juga dijadikan pendorong mahasiswa untuk juga gemar membaca. “Tanpa membaca kita tidak akan dapat menghasilkan tulisan yang bagus. Komentar di artikel orang lain merupakan salah satu tanda mereka membaca. Selain itu, dapat menambah jaringan dan pertemenan di dunia maya”, terang dosen Teknik Informatika UMY ini.
Pada kesempatan itu, juga diumumkan pemenang lomba penulisan opini bagi mahasiswa baru UMY. Para mahasiswa baru menuliskan opini mereka mengenai UMY untuk memenagkan lomba tersebut. Lomba tersebut diselenggarakan UMY dalam menyambut mahasiswa baru sehingga sejak awal perkuliahan terbiasa untuk menulis. Sejumlah 15 pemenang utama dan 5 pemenang harapan.
Published at:

on 17 November 2011 | | A comment?

Strategi Perubahan Iklim di Perkotaan, Tak Kalah Vital Perangi Pemanasan Global

Perubahan iklim yang terjadi di dunia saat ini semakin menjadi fenomena yang diperbincangkan hingga tataran global. Hal ini disebabkan oleh dampak pemanasan global yang sangat diprediksi sangat besar bagi alam semesta. Kondisi hutan di dunia sebagai pemeran utama penyerap gas penyebab pemanasan global yang telah mencapai level mengkhawatirkan, menjadi faktor utama semakin besarnya perubahan iklim terjadi. Namun, strategi reduksi jumlah gas rumah kaca yang  dilakukan di perkotaan dinilai tidak kalah penting dibanding upaya perbaikan hutan.
Demikian disampaikan Muhammad Nurhadi, Local Coordinator Policy Advice for Environment and Climate Change (PAKLIM), Deutsche gesellschaft fur Interntaionale Zusammenarbeit (GIZ) dalam Workshop “Strategi Perubahan Iklim Kota, How to Make It!” yang diadakan GIZ dalam rangkaian agenda Pameran Kerjasama Pembangunan Jerman dan Indonesia (JERIN), Rabu (9/11) di Ruang Seminar Gedung AR Fahrudin A Kampus Terpadu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Menurut Muhammad, tidak seperti permasalahan hutan, jumlah emisi gas karbon yang diproduksi di lahan perkotaan cenderung meningkat setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan banyaknya faktor yang terus mengalami perubahan sehingga dibutuhkan analisa dan upaya penanggulangan yang berbeda-beda di setiap kota. “Permasalahan di hutan mana pun akan sama saja. Berbeda dengan di kota, teknologi, industri, pertumbuhan ekomomi, kebijakan politik, kebiasaan masyarakat dan faktor lain yang melibatkan manusia menjadikan kondisi di kota jauh lebih kompleks sehingga dibutuhkan strategi yang lebih pula”, jelasnya.
Dalam upaya tersebut, Muhammad mencontohkan strategi yang telah dirancang oleh PAKLIM-GIZ berupa perencanaan strategi perubahan iklim yang dilakukan PAKLIM di 10 kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk Yogykarta. Langkah pertama adalah pemahaman konteks berupa identifikasi kebijakan, strategi dan rencana pembangunan di kota tersebut. Kemudian upaya identifikasi sumber gas rumah kaca di serta skenario iklim dan dampaknya terhadap pembangunan kota tersebut.
Langkah selanjutnya disebut Muhammad berupa penentuan prioritas dan tujuan seperti identifikasi dan analisa resiko dan peluang perubahan iklim, menilai tingkat resiko iklim di visi misi kota, resiko dan peluang penurunan emisi serta target penurunannya. Setelah itu baru kita bisa menentukan tindakan dan strategi yang harus kita lakukan dari hasil analisis tersebut. “Setidaknya ada dua poin besar yang sering dikaitkan dalam upaya perubahan iklim, yaitu poin mitigasi dan adaptasi. Kedua hal tersebut harus dilakukan bersamaan sehingga terintegrasi dengan baik. Baru selanjutnya dilakukan pemantauan dan evaluasi,” terangnya.
Mitigasi, yaitu upaya minimalisasi pemanasan global dari sumbernya menjadi sangat penting mengingat tingkat produksi gas rumah kaca yang dilakukan masyarakat sebenarnya dapat ditekan. Industri, pengunaan kendaraan, manajemen pembuangan sampah misalnya masih berpotensi untuk ditekan. “Di negara-negara Eropa yang tingkat kesadaran tentang pemanasan globalnya sudah tinggi misalnya, perusahaan-perusahaan yang pengonsumsi hutan justru membeli hutan dan mengambil bahan dari hutan milik mereka sendiri sehingga mampu melakukan kontrol dan penyeimbangan dari dampak negatif serta upaya positifnya.” Jelas Muhammad.
Sementara adapatasi menurut Muhammad juga merupakan upaya vital karena dampak pemanasan global yang saat ini semakin dirasa. Banjir Rob serta bencana lain akibat pemanasan global dewasa ini semakin sering terjadi setidaknya di Indonesia. Sehingga perlu direncakanan upaya adapatasi demi terjaganya alam semesta.
Pada akhirnya, Muhammad mengharapkan peran masyarakat untuk menyadari dampak pemasanan global ini. Kerjasama pemerintah untuk memberikan data valid untuk analisa juga dinilai Muhammad sangat penting. “Setidaknya ada empat faktor besar meningkatnya jumlah gas rumah kaca di perkotaan yang perlu diperhatikan, pertumbuhan penduduk, level teknologi, pola pertumbuhan ekonomi, dan penggunaan bahan bakar”, tandasnya.
published at:

on 09 November 2011 | | A comment?

Pameran Kerjasama Pembangunan Jerman dan Indonesia di UMY

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta menjadi tuan rumah pada kegiatan Pameran Kerjasama Pembangunan Jerman dan Indonesia (JERIN) “Kreatifitas dalam Keberagaman” yang diselenggarakanDeutsche gesellschaft fur Interntaionale Zusammenarbeit (GIZ) dan Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KfW). Kegiatan ini diselenggarakan sejak Jumat hingga Rabu (3-9/11) di Lobby Gedung AR Fahruddin B Kampus Terpadu UMY.
Sekretaris Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Christoph Seeman yang hadir membuka pameran menjelaskan, ada tiga fokus kerjasama pembangunan yang digarisbawahi di pameran ini. Yang pertama adalah perubahan iklim. Selama ini, Jerman dan Indonesia bekerjasama untuk mengembangkan ekonomi rendah karbon dan melestarikan keanekaragaman hayati. Investasi dalam energi terbaharukan dilakukan dalam skala besar yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan.
Pada fokus kedua, Republik Federal Jerman merupakan mitra pembangunan dalam hal tata pemerintahan yang baik (good governance) dan desentralisasi di Indonesia. Hal ini menyangkut partisipasi yang demokratis dan pelayanan publik untuk masyarakat di seluruh Indonesia. “Sektor lain yaitu mengenai pembangunan sektor swasta yang berkontribusi dalam pengembangan lingkungan sehat untuk penciptaan lapangan kerja di sektor swasta, termsuk usaha kecil dan menengah” terangnya.
Seeman juga menjelaskan, selama lima puluh tahun terakhir, kerjasama ini mengembangkan kapasitas Indonesia dalam hal pembangunan infrastruktur dan tenaga kerja yang berkualitas. Selama bertahun-tahun, pemerintah Jerman bekerjasama untuk memperkuat pregram simpan pinjam sebagai salah satu alat yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi kemiskinan. “Sehingga kami juga memilih tempat-tempat yang mengedepankan kerjasama pembangunan dalam penyelenggaran JERIN ini”, jelasnya.
Sementara itu Rektor UMY Ir. H. M. Dasron Hamid, M.Sc mengharapkan, kegiatan seperti ini dapat menjadi insprirasi bagi mahasiswa untuk belajar utnuk melakukan inovasi-inovasi baru. Hal tersebut sebagaimana Jerman yang menurutnya sebuah negara industri modern yang berkembang dengan teknologi yang tinggi untuk memecahkan berbagai permasalahan. “Sehingga penting bagi UMY untuk mendukung kegiatan yang dapat mengembangkan iptek seperti ini. Wawasan mahasiswa dan seluruh elemen akan berkembang”, katanya.
UMY menjadi universitas ke-3 yang menjadi tuan rumah penyelenggaraan kegiatan ini setelah sebelumnya dilaksanakan di Jakarta dan Surabaya Oktober lalu. Pameran ini selanjutanya juga akan diadakan di beberapa kota di Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera hingga Februari 2012.


Selain pameran, kegiatan 6 hari ini juga menghadirkan beberapa agenda kegiatan di antaranya: Dialog “Crisis Management adn Sutainable Innovation: Cooperation between Indoensia and Germany in Yogyakarta 2006-2011” yang diisi mantan Sekretaris Daerah DIY Tri Harjun, Kamis (3/11), Seminar on Strenghtening Citizen’s Role in Local Governance Jumat (4/11)dan Workshop “Climate Strategies for Cities” Rabu (9/11).

Mahasiswa-Mahasiswa UMY di Pameran Kerjasama Pembangunan JERIN
Christoph Seeman, Sekretaris Duta Besar Jerman untuk Indonesia bersama
Wakil Rektor III UMY, Sri Atmaja P. Rosyidi PhD saat meresmikan Pameran JERIN
Christoph Seeman, Sekretaris Duta Besar Jerman untuk Indonesia
saat memberikan sambutan pada pembukaan Pameran JERIN
Director of CGG Christoph Berens dan Mantan Sekretaris Daerah DIY Tri Harjun,
saat mengisi dialog “Crisis Management adn Sutainable Innovation: Cooperation
between Indoensia and Germany in Yogyakarta 2006-2011”
published at:
http://www.umy.ac.id/pameran-kerjasama-pembangunan-jerman-dan-indoensia-di-umy.html
http://www.muhammadiyah.or.id/id/news-570-detail-pameran-kerjasama-pembangunan-jerman-dan-indonesia-di-umy.html
http://jogja.tribunnews.com/2011/11/03/umy-gelar-pameran-indonesia-jerman

on 03 November 2011 | | A comment?